Cerpen: Matahariku Mataharimu
“Coba deh, Dre, lo lihat dia. Dia itu kayak
matahari ya, eksistensinya bikin orang-orang cerah dan ikut bersinar. Tiap dia
dateng, pasti timnya jadi semangat dan semua mata langsung tertuju sama dia.”
Amora nyerocos dengan mata berbinar-binar, menceritakan sesosok yang bernama
Aji yang saat ini sedang melakukan meeting di cafenya. Aji yang mendadak mampir
pada hari-harinya Amora, yang membuat Amora menjadi lebih sering melirik keluar
jendela kantornya dan asik sendiri menatap kegiatan apapun yang dilakukan Aji
diluaran sana.
Amora tak menyadari mata Andre yang kerap kali
berubah menjadi waspada setiap kali Amora menyebut nama Aji dihadapannya. Amora
yang dulu pernah menyebut nama Aji dengan penuh kebencian, kini berubah nada
menjadi penuh kekaguman.
“Lo suka ya dengan Aji?” cetus Andre akhirnya
lebih kepada pernyataan ketimbang pertanyaan, seraya berharap keketusan pada
suaranya tidak akan disadari oleh Amora.
“Hah? Enggaa jugaa siiih.. hehe. Kagum aja lah.”
Elak Amora segera. Tapi Andre jauh dari sekedar paham bahwa ucapannya benar. Tidak
perlu melihat tanda-tanda salah tingkah plus wajah memerah Amora yang saat ini
tampak. Andre sudah mengetahuinya sejak dulu. Jauh sebelum Amora menyadari
perasaannya.
Andre selalu menyukai Amora, satu-satunya
wanita yang saat ini mampu membuatnya senang sekaligus nyaman dengan
kehadirannya. Teman dekatnya. Sahabatnya. Andre merasa Amora seperti
mataharinya, yang belakangan ini cahayanya menjadi semakin terik, diliputi
cerahnya cahaya orang yang sedang jatuh cinta. Sayangnya, cinta Amora bukan
untuknya. Senyum Amora saat ini pun bukan karenanya. Tapi karena Amora sedang
memiliki matahari yang lain.
“Aji emang matahari untuk lo, Mor. Dan lo akan
selalu menjadi matahari untuk gue..” gumam Andre pelan, tapa disadari oleh
Amora.
“Lo gak suka bulan?” tanya Andre tiba-tiba.
“hm… suka kok. Tapi gue jarang liat bulan,
soalnya harus keluar malem-malem. Sedangkan kalo keluar malem, gue takut ketemu
hantu. Apalagi kalau bulan purnama, hiiih…” Amora bergidik sendiri. Hobinya
padahal menonton film horror, tapi Amora justru takut membayangkan makhluk yang
sama sekali tidak pernah ditemuinya itu.
Amora gak pernah menyadari senyum pahit Andre
saat itu. Dia terlalu sibuk mengetik dari balik laptopnya sambil curi-curi
pandang pada Aji yang saat ini sedang mengobrol dengan timnya.
Andre menyesap hot Americano pahitnya dengan
perlahan, memandang keluar jendela kantor mereka. Hari itu bulan sedang
cantik-cantiknya. Bulat sempurna, berwarna merah jambu tergantung di atas
langit ditemani beberapa titik bintang. Sebenderang apapun, bulan purnama tak
pernah serakah, selalu membagi keindahannya bersama benda langit lainnya. Tapi
bahkan sekarang, bagi Amora, cahaya bulan purnama itu pun tak terlihat. Tertutup
oleh silaunya matahari yang masih saja diam-diam dia tatap.
“Mor, Aji adalah matahari untuk lo. Tapi gue
adalah bulan. Aji selalu menghilang di malam hari, sementara gue selalu ada
sepanjang hari, selalu mengawasi lo, selalu ada dekat lo. Meskipun saat ini,
siang atau malem, cahaya yang gue patulkan selalu kalah benderangnya oleh
matahari lo, Mor. Lo adalah sumber cahaya gue, tapi lo gak pernah menyadarinya.”
Sayang, kata-kata Andre itu tak pernah terucap
lantang. Tercekat di tenggorokan. Andre hanya berdoa perasaan ini akan memudar
dengan sendirinya suatu hari ini. Karena Amora adalah sahabatnya dan Andre
selalu berusaha menjadi sahabat yang terbaik untuk Amora. Meskipun sejak awal,
Andre tau ada yang berbeda tentang dirinya dan tentang Amora.
Tapi, atas nama persabahatan, Andre terus jalan
di tempat. Meskipun Amora tak pernah memintanya.
23 Agustus 2013
Comments
Post a Comment