Cerpen: Tell me quando, quando, quando...

 “Guys, tonight is very amazing. But unfortunatelly, we have to end it very soon.” Billy, vokalis dari band yang selama 1 jam terakhir mengisi acara puncak prom night berkata dengan senyum penuh arti tersunging di bibirnya.

Laras ikut tersenyum, menikmati seluruh lagu yang di bawakan olehnya sedari tadi. Sedikit perasaan sendu menyelinap dalam hatinya menyadari bahwa ini adalah malam terakhir dirinya untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Tiga tahun bersama, tiga tahun masa remaja yang membawa banyak perubahan dalam dirinya.

“It was such a great pleasure to be here on your special day. I remember my own prom night many years ago. The night for the young, who still have a lot of dreams, hope and passion to live the life .” Billy menunjukkan cengirannya membuat beberapa wanita ikutan tersenyum meleleh karena selain suaranya yang membuat hati bergetar, senyum Billy pun seolah memiliki kekuatan magis untuk membuat hati siapapun mencair seketika ketika melihatnya.

“I believe, high school is the best time to experience so many feelings. Being happy, sad, hurt, angry, joyful, new friends, and of course love. I bet, many of you have tasted various kinds of sweetness and bitterness of love. And I have no doubt that many of you still hide your feelings and being afraid to show them to someone that you love even until the very last moment.”

Banyak siswa yang merasa tertohok dengan ucapan Billy. Diam-diam mencuri pandang pada siapapun cinta terpendam yang saat ini masih mereka simpan rapat-rapat. Beberapa tersenyum dengan ikhlas ketika melihat orang yang mereka sukai sedang bergandengan tangan dengan orang lain, beberapa masih berharap akan datangnya suatu keajaiban yang akan memberikan mereka kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka.

Tak terkecuali Laras. Yang diam-diam melirik ke ujung ruangan. Tempat orang itu berada. Orang yang selalu berkumpul bersama teman-temannya. Orang yang entah sejak kapan berada di pikirannya dalam intensitas yang tidak berlebihan namun tak pernah pudar. Bukan cinta pertamanya, bukan. Hanya entah dengan cara seperti apa yang tak pernah Laras mengerti, orang itu tak pernah luput dari pengamatannya. Selalu ada.

Dan tak pernah terungkapkan.

“This will be the last song from us.” Ucap Billy lagi. Membuat seluruh ruangan serentak mengeluh kecewa, tak rela jika kebersamaan mereka hanya akan ada sepanjang satu lagu lagi.

“For those, who are still hiding your unrequited feelings. Hoping for the miracle and a chance to make it come true, well, I encourage you to show it now. This is your last night, be brave and be proud of your true feelings.”

“Once again. Be brave.”

Billy mengedipkan sebelah matanya pada audience lalu intro musik pun mulai mengalun. Laras melirik lagi ke sudut ruangan. Padanya. Dia pun sedang menatap Laras. Mereka berdua tersenyum. Sudahlah... perasaan yang ini memang bukan untuk di ungkapkan, bisiknya ikhlas.


***

Suara intro dari lagu yang sama sekali tak Laras ketahui mengalun lembut. Laras mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, memperhatikan beberapa dari teman-temannya yang dia kenal akhirnya memberanikan diri untuk mengajak orang yang mereka sukai. Beberapa cowok bersuit-suit di pojok ruangan, mendorong-dorong salah satu temannya untuk beraksi. Beberapa cewek dengan malu-malu mendekati salah seorang dari segerombolan cowok, berusaha menebalkan muka dari godaan teman lainnya.

“May, yuk.” TIba-tiba Toby, sudah berdiri, di hadapan Maya dan menggenggam tangan cewek itu. Toby yang biasanya pecicilan dan tengil setengah mati dan biasanya membuat Maya rasanya ingin mengeluarkan sumpah serapah setiap kali melihatnya, kali itu membuatnya tak berkutik selain mengikuti tarikan tangan cowok itu. Toby, yang malam itu luar biasa charming dengan stelan jas dan dasinya, akhirnya memberanikan diri mengakui perasaan di hadapan cewek yang selalu di ganggunya sepanjang masa sekolah.

Laras tersenyum ketika Toby memberikan kedipan padanya. Menghela nafas panjang, mengarahkan pandangannya ke pojok ruangan tempat orang itu disana, berusaha menimbang apakah sebaiknya dia pun memberanikan diri untuk menunjukkan perasaannya atau tidak.

Tapi orang itu tidak lagi ada disana.

Sedikit panik, Laras mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Berusaha mencari keberadaan orang itu. Orang yang sejak sapaan pertamanya di pintu masuk barusan, membuat perutnya bergejolak, campuran antara terlalu bahagia yang meluap-luap, terlalu ingin menyapa, terlalu malu, dan segala terlalu yang dia rasakan sejak pertama dia bertemu dengan orang itu. Segala rasa terlalu yang membuatnya terlalu rumit untuk dijelaskan.

“ras… mau ga dance sama gue?” tiba-tiba seseorang menyentuh tangannya dari samping. 

Bukan dia. Bukan.

Bukan dia yang sejak tadi mampir di pikirannya. Bukan.

Melainkan sahabatnya orang itu. Orang terakhir dalam list Laras yang dia sangka akan mengajaknya berdansa di lagu terakhir prom. Orang yang gak pernah di sangka-sangka akan memberanikan diri untuk mengajaknya.

“sure..” Laras tersenyum. Sedikit kecewa karena bukan orang itu yang muncul disana.

Genggaman Raya terasa hangan di telapak tangannya. Sebelah tangan Raya memegang pinggang Laras, sementara sebelah tangan Laras di letakkan di pundak Raya. Perlahan, mereka bergerak mengikuti alunan lagu. 

“tell me quando… quando… quando…” suara romantic khas Billy menyanyikan lagu Michael Buble berjudul quando quando quando.

“Tau ga kalo Quando itu dalam Bahasa spanyol artinya Kapan?”

“Kapan?”

“Iya, kapan?”

“Iya kapan kan?”

“iyaa…. Kapan itu when. So when will you be mine..” Raya menyanyikan sepenggal liriknya dengan muka mesem-mesem tengil. Laras merasakan lonjakan kecil di perutnya. 

“Ray.. garing ah.” Laras menepuk belakang kepala Raya, gemas dengan kegaringan Raya yang selalu membuat dia menepuk jidat keheranan. Tiga tahun mengenal Raya, dan selalu berada di kelas yang sama setiap tahunnya membuat Laras sangat mengenal Raya. 

Menginap bersama untuk urusan OSIS, ngebut mengerjakan pe-er matematika di pagi hari demi menghindari di hukum berjamaah oleh Bu Nur, membuat video konyol dengan semua teman sekelas, saling ledek ketika Laras masuk kelas dengan potongan rambut baru yang menurut Raya mirip dora, atau ketika Laras melempar sepatu saking kesalnya karena Raya membuatnya marah, dan akhirnya Laras harus misuh-misuh ikut mengompres pipi Raya yang bengkak dan Raya yang seolah dapat kesempatan membalas dendam minta di bayari makan mie goreng di kantin.

Segala kekonyolan yang pernah mereka lakukan bersama. Segala tingkah normal dan tak normal yang merka alami. Laras baru menyadari kehadiran Raya yang juga membuat banyak warna dalam hari-harinya.

“lo cantik deh hari ini.” Ucap Raya dengan nada suara serius yang tidak biasa.

“lo juga.”

“Cantik maksud lo?”

“eh…” Laras jadi kebingungan sendiri. Shit. Kenapa gue jadi kagok gini.

“norak lu, mau muji gue aja ga mampu.”

“lu duluan sih norak, sok sok an muji.kan gue malu.” Laras meleletkan lidahnya dan menjulingkan matanya. 

“ya tapi serius gue. Lo cantik banget hari ini, gue sampe terpesona dari tadi pas ngeliat lo.”

“iya gue juga tiap hari cantik kali, lo nya aja ga nyadar.”

“gue nyadar kok…”

“elah…”

“cieeee… jangan blushing gitu dong.”

“norak!” Laras berusaha menghindari tatapan Raya. Baru disadarinya, ini kali pertama dia melihat raya sedekat dan seintens ini. Raya ternyata jauh lebih tinggi darinya. Bahunya tegap dan berotot, Laras hafal kalau Raya selalu pergi futsal bersama teman-temannya setiap sabtu malam berhubung dia ganteng tapi memilih untuk single selama masa sekolah meskipun Laras tau banyak teman seangkatan maupun adik-adik kelasnya yang naksir Raya. Mukanya gak seganteng Aliando emang, tapi sifat Raya yang ramah dan supel pada siapapun bikin orang betah untuk lama-lama bareng dia.

“Ras, nanti kalo kuliah jangan serius-serius pacarannya.”

“hah? Ya ngapain pacaran lah kalo ga serius.”

“pokoknya jangan, lu boleh ganti-ganti pacar sepuluh kali juga ga apa-apa. Tapi jangan sampe serius.” Ucap Raya lagi.

“Idih, siapa lo coba ngasih tau gue jangan pacaran serius-serius?” 

“gue? Calon suami lo di masa depan.” Jawabnya sambil cengar-cengir kepedean. Hampir saja Laras melotot gemas dan menggeplak kepala Raya, jika bukan karena Billy tiba-tiba berbicara dari panggung.

“That was the last song for the lovers, and now… this is the last song for all of us. Lets stand up and have a party guys!”

Sebelum Laras sempat berkata apapun tiba-tiba Raya mengecup pipil kirinya. Cepat dan lembut. Membuat Laras yang tak menduganya mendadak menjadi membeku, tercengang.

“inget pesen gue, pokoknya lo nanti nikahnya sama gue.” Ucap Raya di telinganya, mengusap pipinya lembut lalu mengakhiri dansanya dengan Laras yang sekarang beku total.

****

Sepuluh tahun kemudian.

“masih inget gak prom night kita disini?” Orang itu hari ini ada di samping Laras, mengenakan kemeja polos biru Armani degan celana jeans casualnya. Orang itu masih ganteng luar biasa. Dengan senyumannya yang masih membuat jantung jumpalitan.

“iya lah.. masa SMA emang masa paling seru sih buat gue.” Jawab Laras.

Laras teringat kembali dansa terakhir bersama Raya dan kata-kata yang diucapkan Raya sebelum dansa itu berakhir. Lalu bagaimana orang itu muncul di lagu terakhir, dan ikut menggerakkan badannya yang selalu kaku. Orang itu cool. Kelewat cool hingga Laras menjulukinya sebagai kulkas. Dia ramah dan baik pada siapa saja, tapi teman-temannya selalu menjulukinya si gagu karena sikapnya yang dingin itu untuk menutupi ke gaguannya di hadapan cewe-cewe.

“Yeah, masa SMA yang mengubah banyak hal.” Gumam orang itu, lalu tersenyum pada Laras. Sorot matanya teduh.

“udah ngambil makan belom han.”

“Han.. Han.. Han.. norak lu. Ambilin doong, mau pudding. Laperr.” Dumel laras ketika Raya muncul di sampingnya, lagu mengecup pipinya sok mesra. 

“siap nyonya besar, hamba akan melaksanakan titah nyonya.” Raya berlagak hormat.

“jagain istri gue bentar ye, doi peminatnya banyak, takut ada yang nyulik.” Ucap Raya pada orang itu yang hanya tertawa dan mengacungkan jempol. Raya kemudian berlalu untuk mengambilkan Laras pudding. Laras mendengus, sedikit tertawa melihat tingkah Raya yang sama pencicilannya seperti dulu. Bahkan semakin mengenalnya, semakin aneh lah tingkahnya.

“Dari dulu pas SMA Raya selalu bilang kalo dia bakal nikah sama elu. Eh ternyata serius ya.”

“hahaha, iyaa… gue aja gak nyangka bakal berakhir dengan kutukan ini.” 

“lo bahagia sama Raya?” Orang itu tiba-tiba bertanya, dengan muka menyelidik dan serius.

“sangat.” Jawab Laras, tanpa berfikir dua kali. Karena nyatanya dia memang bahagia.

“great.” Ujar orang itu.

Laras tersenyum, orang itu tersenyum. Mereka bertukar senyum dengan masing-masing makna yang tersirat. Sejak SMA dulu, kadang lewat tatapan orang itu, Laras merasa dia pun memiliki perasaan yang sama. Jenis senyuman yang dia lemparkan padanya, cara dia mencuri-curi pandang ketika berpapasan dengan Laras di koridor sekolah, cara dia menyapa malu-malu. Laras tidak mau mengatakan semuanya hanya delusional karena dia benar-benar merasakannya. 

Laras tersenyum, orang itu tersenyum. Sepuluh tahun berlalu, ada perasaan yang tak terkatakan. Laras mencintai suaminya, Raya, sangat. Tapi orang itu pernah menjadi bagian cerita masa SMA nya, dan pernah menempati chapter special dalam kehidupannya. 

Laras tersenyum dan orang itu tersenyum. Mereka menyadari, terkadang ada perasaan yang lebih baik disimpan dan tak terkatakan. Bukan karena terlalu pengecut untuk di ungkapkan, bukan. Namun ada hal-hal yang lebih baik disimpan, dan waktu yang akan menentukan apakah perasaan itu akan tumbuh berkembang atau akan pudar dan perlahan sirna. Menjadi sebuah memori indah.



21 Januari 2017

PS: Nulis ini udah lamaaaaa banget, dari tahun 2015, baru di selesaiin 2017, dan di publish 2021. Sesungguhnya cerita ini terinspirasi dari lagu Dancing Away - Lady Antebellum. Ngingeti aku pas prom night yang sebenernya waktu itu biasa aja :P

Anyway, semoga siapapun yang baca bisa menikmati.

Comments

Popular posts from this blog

A Tale of A Foolish Cinderella

Us

Love like a Jellyfish