Cerpen: Aku dan Dia
Denting garpu dan
sendok yang beradu dengan piring terdengar setelah suapan terakhir. Aku yang
telah menghabiskan seporsi fusilli carbonara dan sedang asik menyuapkan eskrim
vanilla, bergumam lega dalam hati. Akhirnya tenderloin steak yang dia makan
habis juga.
Aku selalu malu
jika pergi makan bersamanya, gayanya makan lebih elegan dan rapi jika
dibandingkan denganku. Suapannya lebih tenang jika dibandingkan denganku yang
setiap makan seolah habis puasa setahun. Aku selalu malu tapi tak bisa
mengubahnya. Jadi aku menerima saja cara makannya yang memang lebih tenang,
seperti dia yang menerima cara makanku yang kesurupan.
“nanti kebayanya
gak muat loh kalo makannya kalap.” Ucapnya, kontan membuat eskrim vanilla pada
suapan ketigaku menjadi suapan dengan rasa bersalah yang sangat besar.
“come on, give me
break. Gue udah diet mati-matian, ga bisakah gue makan eskrim ini dengan nikmat
dan bebas rasa bersalah?” Seruku jengkel. Dia terkekeh geli sambil mengangkat
bahu. Dia tak banyak bicara, hanya sesekali memunculkan celetukan jahil. Tapi aslinya
dia kalem, hanya banyak berbicara jika ditanya.
Aku dan dia sedang
makan malam di malam minggu. Berdua saja. Seperti dalam film drama kesukaanku. Aku
dan dress hitam serta hak tinggiku, dia dengan kemeja hitam dan sepatu
pantofelnya. Dia menjemputku tepat pukul 18.30 seperti yang di janjikan, lalu
membawaku ke suatu restoran untuk dinner berdua, dan disinilah kita saat ini di
balkon restoran yang memiliki pemandangan lampu-lampu kota di bawah sana. Dia yang
baru saja selesai menikmati hidangan utamanya, sementara aku sudah berlanjut
pada hidangan penutup.
Aku dan dia
memiliki banyak perbedaan, padahal usia kita sama. Aku yang seringkali
ekspresif seringkali bertingkah konyol di depan dia hanya untuk menarik
perhatiannya. Dia yang lebih banyak diam menanggapi kekonyolanku dengan
tersenyum atau tertawa geli.
Aku yang seringkali
bersikap sok dewasa dan sok tahu sementara dia yang tenang menanggapi dan tak
pernah menyalahkan ketika sok tahuku itu tidak terbukti benar.
Aku yang seringkali
berdrama ria dan memiliki banyak percakapan sendiri di dalam otak yang
terkadang membuat segala hal menjadi seolah negatif, sementara dia yang tak
pernah ambil pusing dan seringkali tak paham dengan aksi drama yang sedang aku
tunjukkan.
Aku yang selalu cemburuan
meskipun dia hanya duduk berdua dengan temannya, sementara dia yang tak pernah marah
sekalipun aku pergi berkelana dengan orang yang berpotensi untuk menjadi orang
ketiga.
Aku yang terlalu perasa, sementara dia yang
mati rasa.
Entahlah apa yang
menjadikan kita cocok satu sama lain sehingga hari ini kita berdua bisa duduk
bersama menikmati makan malam berdua saja. Menikmati dinginnya malam yang
menggigit bagian tubuhku yang terbuka, tapi lihatlah dia bahkan dia tidak
bertanya apakah aku kedinginan atau tidak. Jika aku marah dia pasti bilang “kalau
dingin ya bilang saja, nanti aku ambilkan jaket. Ga perlu marah-marah.” Dan ujung-ujungnya
malah aku yang merasa di marahi, lalu aku akan pulang dengan muka cemberut. Ah,
sudahlah daripada memikirkan persoalann udara lebih baik kita nikmati saja
makan malam hari ini.
Mungkin makan malam
berdua untuk yang terakhir kalinya.
“gimana persiapan
nikahan kamu? Udah oke semuanya?” tanyanya membuat stress yang sedari tadi aku
simpan diam-diam menjadi muncul ke permukaan. Akhirnya aku menceritakan
semuanya, persiapan dari dua keluarga yang sebenarnya bisa lancar namun selalu
ada saja hal yang di besar-besarkan hingga persiapan lainnya yang menyenangkan
aku ceritakan mendetail padanya. Tak pernah ada yang bisa aku sembunyikan
darinya, aku bisa menceritakan semua padanya tanpa perlu merasa terbebani. Dan dia
selalu ada untuk mendengarkan.
Aku dan dia
pacaran? Oh, tidak. Mungkin kalian salah paham. Aku telah mengenalnya selama 8
tahun. Baiklah, kita pernah pacaran. Dulu. Bertahun-tahun yang lalu. Setelah melewati
fase patah hati dan saling memaafkan, akhirnya kita menemukan kecocokan dalam
pertemanan. Bukan persahabatan. Hanya pertemanan biasa. Percaya kah kalian? Aku
tau kalian tak percaya, mana mungkin mantan pacar bisa menjadi teman, yah aku
sendiri pun sama tak percayanya seperti kalian.
“bilang ke bagas, kalo dia gak bisa ngebahagiain
calon istrinya, nanti gue culik aja sekalian gue nikahin.” Candanya seperti
biasa. Tanpa menyadari, ada sedikit sentakan kecil dalam perutku setiap kali
dia mengucapkan itu.
“bilang ke vina,
kalo dia gak bisa bikin elu move on, mending kasih ke gue aja. Gue bisa jadiin
elu suami kedua nanti.” Balasku bercanda.
Dia tertawa. Aku tertawa.
Entahlah, aku selalu merasa tawa kami adalah tawanya orang-orang bodoh. Aku menyukainya,
masih sama seperti dulu. Entahlah dia seperti apa, tak perlulah di terka agar
aku tak berharap yang tidak-tidak. Tapi kami tetap tertawa, seolah tak ada
sedih yang seringkali menyelinap usil di balik tawa itu.
Malam ini makan
malam berdua terakhir bersamanya. Besok dia akan pindah keluar kota. Bulan
depan aku akan menikah. Mungkin tak akan ada lagi kesempatan untuk kita berdua
bercanda seperti ini. Mungkin besok-besok aku akan kesepian tanpanya.
Mungkin saat ini
kalian bertanya, kenapa harus menikah dengan orang lain? Kenapa tak ungkapkan saja perasaanmu?
Entahlah… akupun tak mengerti. Kami berdua
pernah memulai suatu hubungan. Kami berdua pernah sama-sama menyerah. Entahlah kenapa,
tak ada satupun dari kami yang berusaha memulai lagi seperti dulu. Mungkin kami
takut. Mungkin kami ragu. Atau mungkin kami menyadari, antara aku dan dia
cukuplah seperti ini. Menjaga jarak aman agar tak satupun tersakiti oleh satu
sama lain.
Ah sudahlah mungkin
kami berdua hanyalah orang bodoh. Yang pernah hampir menjalani hubungan lebih
jauh namun gagal dan menyerah. Mungkin kami hanya orang bodoh yang berharap,
waktu akan menghapuskan perasaan masing-masing. Mungkin kami hanyalah orang
bodoh yang mendapatkan pelajaran bahwa hampir berhasil sama saja dengan belum
berhasil, sehingga kami akan mencobanya dengan yang lain.
Mungkin juga kami
hanyalah orang bodoh yang pernah berandai-andai, jika saja aku tau kamu
menyukai aku seperti akupun menyukai kamu, pasti segalanya akan menjadi berbeda.
Tak apa lah, tak
perlu terlalu di perhatikan orang-orang bodoh ini. Setidaknya kami berbahagia
untuk satu sama lain. Meskipun tak saling bersama, namun kami akan selalu ingat
untuk mendoakan satu sama lain. Karena kebahagiaannya yang kekal, hanya diriNya
yang bisa memberi.
“semoga kamu bahagia,
Le”
“Semoga kamu bahagia,
Ra”
Meutafora
19 Mei 2015
Thanks to Ariana grande – almost is never enough yang gak
pernah cukup hanya diputer sekali.
If I would have known that you wanted me the way I wanted
you
Comments
Post a Comment