Keajaiban
Buatku, suatu keajaiban saat menyadari diantara milyaran manusia di dunia ini ada yang cukup beruntung saat 2 orang dapat saling menyukai satu sama lain. aku pernah merasakannya, dulu.
Keajaiban itu ketika aku menyukainya dan dia pun menyukai aku.
Ajaib. Miracle. Dream Come True.
Lalu, sama halnya seperti manusia pada umumnya yang serakah dan tidak puas hanya dengan satu keajaiban yang datang secara cuma-cuma. Aku mulai bekerja keras, berusaha memaksakan keajaiban itu agar dapat menghasilkan keajaiban-keajaiban lainnya. Aku meminta ini itu. Aku menginginkan ini itu. Aku memaksakan ini itu. sehingga akhirnya keajaiban pun menjadi jengah, kemudian melangkah pergi. Keajaiban merasa tak dihargai.
Aku selalu lupa, Keajaiban seringkali muncul dari rasa yang paling sederhana. sesederhana rasa mencintai dan dicintai. Keajaiban selalu muncul dari nikmatnya rasa syukur saat masih dapat menggenggam tangan satu sama lain di saat milyaran manusia lainnya hanya dapat menggenggam kosong.
Perginya keajaiban bukan hanya menyentil, namun juga menampar. Seberapa sombongnya aku ketika keajaiban itu masih hadir di sekitarku dengan sukarela. Perginya keajaiban menyadarkan aku, seberapa susah payahnya bertahan ketika kemudian tanpa sentuhan keajaiban segalanya tak lagi terasa bermakna.
Mungkin keajaiban yang ini telah berlalu, membawa banyak pelajaran yang berharga. Terima kasih karena keajaiban mengajarkan bahwa rasa serakah tak akan membuatnya menjadi berlipat ganda. Tapi, perginya keajaiban pun mengajarkan aku bahwa tak perlu ada ibu peri yang memberikan gaun indah atau kereta labu yang membuat keajaiban itu nyata, cukup perasaan bersyukur dan tulus yang menjadikan keajaiban itu menjadi lebih bermakna.
Sampai berjumpa keajaiban lainnya. Nanti. Disaat yang tepat aku yakin akan ada keajaiban lainnya yang muncul. Untukku. Untukmu. Untuk siapapun yang percaya bahwa keajaiban itu ada.
Meutafora
18 Mei 2015
Keajaiban itu ketika aku menyukainya dan dia pun menyukai aku.
Ajaib. Miracle. Dream Come True.
Lalu, sama halnya seperti manusia pada umumnya yang serakah dan tidak puas hanya dengan satu keajaiban yang datang secara cuma-cuma. Aku mulai bekerja keras, berusaha memaksakan keajaiban itu agar dapat menghasilkan keajaiban-keajaiban lainnya. Aku meminta ini itu. Aku menginginkan ini itu. Aku memaksakan ini itu. sehingga akhirnya keajaiban pun menjadi jengah, kemudian melangkah pergi. Keajaiban merasa tak dihargai.
Aku selalu lupa, Keajaiban seringkali muncul dari rasa yang paling sederhana. sesederhana rasa mencintai dan dicintai. Keajaiban selalu muncul dari nikmatnya rasa syukur saat masih dapat menggenggam tangan satu sama lain di saat milyaran manusia lainnya hanya dapat menggenggam kosong.
Perginya keajaiban bukan hanya menyentil, namun juga menampar. Seberapa sombongnya aku ketika keajaiban itu masih hadir di sekitarku dengan sukarela. Perginya keajaiban menyadarkan aku, seberapa susah payahnya bertahan ketika kemudian tanpa sentuhan keajaiban segalanya tak lagi terasa bermakna.
Mungkin keajaiban yang ini telah berlalu, membawa banyak pelajaran yang berharga. Terima kasih karena keajaiban mengajarkan bahwa rasa serakah tak akan membuatnya menjadi berlipat ganda. Tapi, perginya keajaiban pun mengajarkan aku bahwa tak perlu ada ibu peri yang memberikan gaun indah atau kereta labu yang membuat keajaiban itu nyata, cukup perasaan bersyukur dan tulus yang menjadikan keajaiban itu menjadi lebih bermakna.
Sampai berjumpa keajaiban lainnya. Nanti. Disaat yang tepat aku yakin akan ada keajaiban lainnya yang muncul. Untukku. Untukmu. Untuk siapapun yang percaya bahwa keajaiban itu ada.
Meutafora
18 Mei 2015
Comments
Post a Comment