The Power of Jempol
Suatu pagi, ketika sedang ngantuk-ngantuknya, iba-tiba jadi terasa segar karena beberapa pesan masuk “Eh, liat deh postingan si X, Y, dan Z di social media.”. Aku yang pecinta kerusuhan ini, tentu saja langsung menyempatkan diri untuk melihat postingan yang dimaksud.
Pikiran pertama yang terlintas saat melihat postingan orang adalah “Oh, bagus ya.”
Lalu aku mulai membaca penjelasan dari postingan itu (baca: caption). Pikiran yang kedua yang terlintas adalah “Oh, lagi ada masalah ya.”
Udah beberapa tahun ini, aku mencurahkan banyak waktuku di media social, entah untuk posting-posting aja, pamer pencapaian meskipun kecil, ngobrol dengan temenku, dan kirim video lucu sama temen, kepoin orang yang menurut aku menarik, atau cari info-info yang menurutku bermanfaat. Semua hal yang aku lakukan di social media adalah untuk mencari hiburan dan bersosialisasi virtual - yah kecuali bagian mulai kepoin para mantan yang sudah pada bahagia dengan kehidupan masing-masingnya. Aku juga kok. Bahagia maksudnya. hehe.
Tapi seiring dengan banyaknya orang yang mulai aktif di media sosial, konten-konten juga makin beragam. Kalau dulu kebanyakan postingan terlihat natural dan apa adanya, sekarang postingan banyak yang “ditujukan agar terlihat seperti image apa yang ingin kita bangun di social media.” Seperti aku yang ingin dikenal orang sebagai Smart, Independent, Fierce, Elegant Woman. Sungguh terlihat dari seluruh postinganku kan :’)
Anyway, social media juga jadi tempat aku berekspresi. Kalian gak akan tau kan kalau aku itu sebenernya Smart, Independent, Fierce, Elegant Woman kalau kalian gak liat social media aku. Karena aku tuh aslinya kalau ketemu, sangat-sangat pemalu :’)
Kalau dulu orang bilang “Jangan lihat aku dari apa yang aku tunjukkan di social media.”, buat aku justru kebalikannya, kita bisa melihat sedikit demi sedikit karakter orang, kehidupan orang, interest orang, pemikiran orang lewat social media. Terutama pemikiran-pemikiran yang sengaja diperlihatkan untuk orang banyak. Problem apa yang diangkat, bagaimana cara mengkomunikasikannya, apa yang ditulis, semuanya adalah kepribadian yang kita umbar secara sadar maupun tidak sadar di social media.
Kamera handphone, jempol, dilengkapi dengan koneksi internet adalah hal yang sangat powerful dalam dunia pertemanan saat ini. Setidaknya, begitu sih di lingkunganku. Semua bisa direkam, segala aib tersimpan rapi di handphoneku yang udah langganan 2TB di iCloud— gak bisa di downgrade karena hapeku juga jadi inventaris tidak resmi milik bersama teman-temanku *cry*. Segala hal bisa di posting dengan atau tanpa filter, dengan atau tanpa pertimbangan. Segala hal bisa di tulis. Segala kebaikan dan keburukan bisa di publikasikan. Dan segala hal bisa di klarifikasi terlepas dari penting atau tidaknya masalah kita untuk orang lain. Hehe. Media sosial membuat kita merasa seperti artis papan atas dan seolah-olah apapun yang kita unggah disana akan berperan besar dalam kehidupan orang lain. Padahal belum tentu juga.
Berapa orang sih yang peduli dengan muka pacar kita? inside jokes kita bersama teman dekat? kemana kita pergi? baju apa yang kita pakai? sebagus dan selentur apa gerakan dansa kita? seberapa sering kita ngegym? masalah apa yang kita miliki dengan orang lain diluaran sana?
Walaupun kita tau gak banyak orang yang peduli, toh kita tetep posting aja. Ya gapapa kan, yang penting happy kan pas kita mengunggah konten hasil jerih payah mengedit di lightroom dan capcut itu?
Tapi kalau dipikir lagi, dari seribu followers kita, berapa banyak sih orang yang reach out ke kita dan menanyakan kabar kita dengan sungguh-sungguh? Aku gak tau sebanyak apa kehidupan sosialmu, tapi sejujurnya, aku hanya punya beberapa teman yang bener-bener memperhatikan aku. Mungkin dihitung pakai jari kaki dan tangan pun tidak akan terpenuhi kuotanya. Sekecil itu circle pertemananku diluar kehidupan social media yang memiliki ribuan followers dan followingnya.
Notes: Ngomong ngalor-ngidul sampe lupa nyambungin ke inti topiknya apaan. wkwkw. otakku kurang fokus gara-gara social media nih.
Balik lagi ke postingan yang tadi pagi aku lihat.
Karena adanya social media ini, aku merasa jempol kita punya lebih banyak power dibandingkan mulut. Kita bisa mengetik apa saja dengan bebas, semua pikiran, semua perasaan, kebahagiaan, kekecewaan, membuat kita lebih berani mengekspresikan kemarahan kita. Kita bisa menulis semuanya dengan bebas dengan bahasa yang halus, dengan bahasa kasar, dengan bahasa yang langsung ditujukan, atau berupa sindiran. Semuanya bebas. Reaksi orang pun akan menyesuaikan tergantung cerita apa yang si pembaca ketahui.
Tapi ada hal yang belakangan ini aku sadari, komunikasi tidak langsung ini memiliki caranya sendiri untuk menimbulkan kesalahpahaman satu sama lain. Menimbulkan perdebatan yang terasa ribut di social media padahal adem ayem di kehidupan nyata.
Permasalahan kecil yang tadinya bisa diselesaikan dengan berbicara dari hati ke hati selama lima belas menit, bisa berujung diam-diaman selama lima belas hari, atau lima belas bulan, atau bahkan lima belas tahun. Tergantung dari kebesaran hati masing-masing orang yang merasa memiliki masalah.
Seperti kasus yang aku lihat pagi itu, efeknya menjalar kemana-mana dan kepada siapa saja yang tertarik untuk mendengarkan. Gosip mengenai orang yang membuat postingan itu bahkan berkembang bukan hanya berkaitan dengan hal yang dia bahas, namun juga berlanjut pada perilaku pribadi, pakaian yang dia kenakan, adiknya, kakaknya, keluarganya, gosipnya menjadi simpanan, gosipnya dapet warisan sepuluh em(byerr)— wkwk. Oke lebay sih.. tapi banyak lahhh.
Mungkin yang tadinya orang itu inginkan adalah simpati, perhatian, dan mungkin mencari masa yang akan berada di pihaknya. Namun sebaliknya yang terjadi adalah kekuatan jempol itu malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Entahlah.. karena setelah itu aku memutuskan untuk tidak lagi melihat postingan orang yang memberikan energi negatif bagiku. Aku masih mendengarkan cerita-ceritanya di kehidupan nyata tapi juga tidak memperdulikan apapun tentang orang itu, apalagi berusaha membantunya memperbaiki situasi. Seperti pepatah kuno yang selalu aku katakan pada orang tersayang di sekitarku, yaitu: BODO AMAT. HEHEHEHEHE.
Oh satu hal lagi, kalau dulu orang bilang, lidah tidak bertulang namun bisa sangat menyakiti. Bayangkan seberapa besarnya kekuatan jempol yang bertulang yang seringkali kita sebut ibu jari ini. Kekuatan dari kata-kata yang kita ketikkan pada jempol dan kita kirimkan secara virtual bisa jadi alat yang menghancurkan orang lain, atau lebih parah malah menghancurkan diri kita sendiri.
Jadi.. pesan bijakku melalui tulisan ini adalah:
Bijaklah dalam menggunakan jempol dan bersocial media. Sama seperti mulut, kalau tidak bisa mengucapkan hal yang baik, maka diamlah. Kalau kita tidak bisa mengetikkan hal yang baik, lebih baik matikan handphone dan mulailah hidup di kehidupan nyata.
PS: Tulisan ini dibuat udah lama, tapi kepotong lama juga. Semoga selalu menjadi pengingat bagi diri aku sendiri untuk lebih awas dan hati-hati dalam mengetikkan sesuatu yang dapat dibaca orang banyak.
26.06.24
Comments
Post a Comment